Hitung Untung Pensiun Dini PLTU Cirebon, Negara Bisa “Hemat” Rp124 Triliun
Cintya Faliana • Penulis
04 April 2025
9
• 4 Menit membaca

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan komitmen pemerintah untuk memensiunkan PLTU Cirebon-1 tujuh tahun lebih awal dari jadwal seharusnya. PLTU ini direncanakan berhenti beroperasi pada 2035. Pengakhiran PLTU ini menggunakan skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Sebagai pengganti, Bahlil mengaku tengah menyiapkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 346 MegaWatt (MW) dan PLTS + baterai penyimpanan energi berkapasitas 770 MW. Tambahan lainnya berasal dari pembangkit listrik tenaga bayu (angin) atau PLTB sebesar 1.000 MW dan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) 12 MW.
Selain PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu juga masuk rencana pensiun dini pada 2037. Jika pensiun dini PLTU dilakukan dengan segera dan benar, maka dampak positif yang diberikan bisa berlipat ganda: dari aspek kesehatan, finansial, hingga ketenagakerjaan.
Biaya dan nyawa yang harus dibayar pemerintah
Berdasarkan analisis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), kebutuhan dana untuk pensiun kedua PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu mencapai US$1,13 miliar atau Rp18,7 triliun (asumsi kurs Rp16.560).
Angka ini memang besar, tapi belum sebanding dengan beban ekonomi yang berisiko ditanggung Indonesia apabila tak mengakhiri operasional kedua PLTU tersebut.
Dengan perhitungan serupa, jika PLTU Pelabuhan Ratu tetap beroperasi pada 2038-2043, maka kerugian ekonomi akan mencapai US$3,7 miliar atau setara Rp 57 triliun. Sementara kerugian ekonomi akibat PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 MW akan mencapai US$4,4 miliar (Rp67 triliun) selama 2036 – 2042.
Perhitungan beban ekonomi ini bersumber dari polusi udara kedua PLTU. Udara yang tercemar sisa pembakaran batu bara meningkatkan risiko dan insiden penyakit pernapasan. Warga yang terkena penyakit kemudian mengalami penurunan produktivitas.
Selain risiko penyakit, polusi dari PLTU Cirebon-1 berpotensi menyebabkan 441 kematian setiap tahun akibat polutan udara yang dihasilkan. Sementara PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berpotensi merenggut 421 nyawa setiap tahun.
Secara akumulatif, pensiun dini Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu bisa mencegah 11.400 kematian akibat polusi udara jika dipensiunkan pada 2035 mendatang. Jika tidak dipensiunkan, PLTU Cirebon-1 berpotensi memakan 6.370 kematian dan Pelabuhan Ratu sekitar 5.000 kematian.
Keuntungan berlipat pensiun dini
Riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan CERAH juga menunjukkan keuntungan ekonomi dari pensiun dini kedua PLTU akan melampaui biaya tersebut.
Keuntungan berlipat ini dapat muncul dengan catatan pensiun dini PLTU Cirebon-1 harus dibarengi dengan pembangunan infrastruktur energi terbarukan.
Keuntungan berasal dari penciptaan 639 ribu lapangan pekerjaan yang dihasilkan dari proyek energi terbarukan pengganti PLTU Cirebon-1. Ratusan ribu lapangan pekerjaan itu dapat diisi oleh pekerja PLTU yang terdampak lewat skema reskilling (pelatihan ulang) dan upskilling (peningkatan keterampilan). Nantinya, skema ini perlu menjadi bagian dari rencana pensiun dini PLTU pemerintah untuk menghindari risiko meningkatnya pengangguran akibat transisi energi.
Jika langkah ini ditempuh, penerimaan pajak bersih negara dapat bertambah Rp4,06 triliun. Jumlah penduduk miskin secara nasional juga bisa berkurang hingga 153.755 orang.
Sebaliknya, pensiun dini PLTU Cirebon-1 yang tidak dilakukan paralel dengan pembangunan infrastruktur energi terbarukan justru berisiko mendatangkan kerugian besar bagi Indonesia. Misalnya, 14 ribu tenaga kerja akan menganggur dan pendapatan tenaga kerja berkurang Rp1,21 triliun. Akibatnya, penduduk miskin akan bertambah 3.373 orang akibat kehilangan pekerjaan.
Untuk itu, pensiun dini PLTU batu bara harus dipastikan berlangsung secara adil dan efektif. Terlebih Pelabuhan Ratu dan Cirebon-1 sebagai proyek percontohan Just Energy Transition Partnership (JETP) berada di Jawa Barat, provinsi dengan populasi terpadat se-Indonesia.
Pensiun dini PLTU perlu langkah aktif
Dua studi di atas memaparkan bagaimana pensiun dini PLTU dapat menguntungkan Indonesia. Dengan demikian, pemerintah semestinya menggenjot skema yang sama untuk PLTU lainnya di tanah air.
Skema pensiun dini seharusnya termuat dalam peta jalan pengakhiran PLTU yang dijanjikan pemerintah. Sayangnya, hingga kini peta jalan tersebut tak kunjung terbit. Upaya pengakhiran PLTU juga tidak masuk dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN terbaru.
Padahal, tanpa perencanaan yang jelas dan terarah, lembaga pembiayaan dan pihak swasta akan sulit berpartisipasi dalam komitmen transisi energi yang digembar-gemborkan pemerintah.
Terbaru, pemerintah justru mengatakan hanya akan mengakhiri operasional suatu PLTU apabila terdapat sumber pendanaan yang jelas.
Ketimbang pasif menunggu, pemerintah seharusnya aktif mencari sumber dana.
Studi memaparkan sejumlah peluang sumber pembiayaan untuk memensiunkan PLTU batu bara. Opsi pertama adalah melalui pungutan produksi batu bara yang berpotensi mendatangkan uang sekitar Rp84,5-353 triliun per tahun.
Pilihan lainnya adalah pertukaran utang untuk pensiun dini PLTU yang bisa membuka jalan pendanaan sebesar Rp94,8 triliun pada 2025. Angka ini berasal dari negosiasi utang jatuh tempo berbentuk pinjaman, baik ke negara maupun lembaga keuangan pemberi utang (kreditur) internasional.
Keaktifan pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah puluhan ribu kematian dini serta peningkatan penyakit akibat polusi PLTU. Langkah ini juga perlu dilakukan segera untuk mengurangi risiko keparahan bencana di Indonesia akibat terus menunda langkah penanganan krisis iklim.
Editor: Robby Irfany Maqoma