Konflik Aceh-Sumut: Berebut Migas, Melupakan Energi Terbarukan yang Melimpah

Delly Ferdian, Sita Mellia Penulis

24 Juni 2025

total-read

18

5 Menit membaca

Konflik Aceh-Sumut: Berebut Migas, Melupakan Energi Terbarukan yang Melimpah

Kredit foto: (Dennis Schroeder / NREL)

Aceh akhirnya mendapatkan kembali empat pulau miliknya yang sempat "hilang" yakni Pulau Lipan, Panjang, Sikandang, dan Gosong Sanggul. Drama politik ini berakhir sejak keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut keempat pulau itu adalah wilayah yang sah dari Aceh Singkil. 

Keempat pulau yang disengketakan ini diketahui memiliki potensi sumber daya alam energi dan gas bumi, yang nilainya setara dengan Blok Andaman. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution pun sempat mengajak Gubernur Aceh untuk mengelola potensi bersama

 

Perebutan ladang gas alam ini dikhawatirkan mengulang kembali luka lama seperti Blok Arun, dimana gas alam pernah dieksploitasi dengan tidak adil—tak ada timbal balik kesejahteraan untuk warganya—hingga menjadi salah satu faktor yang memicu Gerakan Aceh Merdeka.

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun telah merilis potensi sumber daya minyak dan gas bumi di perairan Aceh pada 22 Juli 2022, yang dinilai masih sangat menjanjikan yakni berada di Wilayah Kerja (WK) Andaman—rata-rata potensinya mencapai 6 triliun kaki kubik. Peluang migas lain di Aceh berada di WK Offshore North West Aceh (Meulaboh), Offshore South West Aceh (Singkil), dan WK Arakundo. 

 

Sayangnya, perbincangan seputar empat pulau Aceh tersebut masih berkutat pada potensi migas. Padahal, Aceh dan Sumatera Utara dapat berfokus mengembangkan potensi energi terbarukan mereka yang melimpah, yang selama ini belum serius digarap.

 

Energi terbarukan belum termanfaatkan

 

Aceh dan Sumatera Utara merupakan daerah yang masih sangat bergantung pada energi fosil, padahal potensi energi terbarukannya tak main-main.

 

Listrik di Aceh, misalnya, mayoritas masih berasal dari energi fosil. Menurut data dari PLN UID Aceh, hanya sekitar 4,1 % dari total listrik di Aceh yang berasal dari sumber energi terbarukan seperti air, panas bumi, atau biomassa. Sisanya lebih dari 95 % berasal dari pembangkit konvensional, terutama minyak dan gas. 

 

Padahal, Aceh punya 70 lokasi yang bisa menghasilkan energi air sebesar 5.147 megawatt  (MW)—potensi yang terbesar keempat di Indonesia. Potensi ini sangat cukup untuk menerangi satu provinsi. Selain itu, Aceh juga memiliki potensi energi surya sebesar 7.881 MW dan energi angin 231 MW.

 

Sementara di Sumatera Utara, PLTU berbahan bakar batu bara dan PLTD berbasis solar masih mendominasi bauran energi daerah. Menurut data dari PLN UID Sumatera Utara, sekitar 30,8 % pasokan listrik Sumut berasal dari minyak bumi, 15,7 % dari batu bara, dan 13 % dari gas bumi . Artinya, lebih dari 59 % kebutuhan listrik masih disokong oleh sumber energi fosil, sedangkan energi terbarukannya di angka 40–40,5 %.

 

Sumatera Utara sebenarnya masih bisa meningkatkan kontribusi energi terbarukan karena potensinya yang melimpah. Misalnya, potensi PLTS atap di Sumatra Utara mencapai 10,2–34,6 gigawatt peak ( GWp). Sementara potensi PLTS ground-mount (di atas tanah) mencapai 9 GWp. Studi juga menemukan, pada 2028 Sumatera Utara akan memiliki potensi angin sebesar 2,6 juta MWh per tahun. Namun, realisasinya masih terbatas seperti PLTA Batang Toru 510 MW; PLTA lain total 447 MW; PLTBm 420 MW; PLTS 0,42 MW. 

 

Sayangnya, rencana kelistrikan baik di Aceh dan Sumatera Utara untuk sepuluh tahun ke depan belum memaksimalkan potensi energi terbarukan. Dalam pemanfaatan potensi surya, Aceh hanya akan membangun PLTS skala kecil seperti di Sinabang dan Gayo Lues dengan total kapasitas di bawah 5 MW. 

 

Proyek energi terbarukan di Sumatera Utara masih terkait proyek PLTM Batang Toru (10 MW) dan pengembangan terbatas di PLTA Renun (82 MW). Dengan potensi yang besar, proyek energi air di provinsi ini sebenarnya masih bisa diperbanyak di berbagai tempat.

 

Migas vs energi terbarukan

 

Jika mengandalkan migas, Aceh hanya menambal kas negara tetapi tidak dengan kantong warga lokalnya.

 

Berdasarkan skema bagi hasil, Aceh mendapat jatah keuntungan dari migas sebanyak 70% dari pemerintah pusat. Namun, jatah ini baru dibagi setelah lifting migas (minyak siap jual) dibagi 50% ke investor. Artinya, Aceh sebenarnya hanya menikmati 35% dari total produksi kotor.

 

Sektor pertambangan di Aceh selama ini juga belum banyak menyerap tenaga kerja. BPS Aceh di tahun 2023 mencatat, sektor pertambangan dan penggalian yang mencakup migas hanya menyerap 0,96% dari total tenaga kerja.

 

Oleh karena itu, ketimbang berfokus pada sumber energi fosil seperti migas yang tidak ramah lingkungan dan tidak membawa kesejahteraan bagi warganya, Aceh dan Sumatera Utara bisa beralih mengandalkan energi terbarukan untuk mengungkit perekonomian mereka.

 

Asal ada kemauan politik, kedua daerah ini dapat menyejahterakan warga lewat energi terbarukan berbasis komunitas.  Tidak hanya meningkatkan kapasitas listrik bersih, energi terbarukan berbasis komunitas juga memperkuat basis koperasi rakyat, membuka lapangan pekerjaan baru yang lebih inklusif—semua dapat bekerja, termasuk lulusan SMK—serta memberdayakan desa.

 

Menurut hitungan CELIOS, jika pemerintah Aceh berinvestasi pada energi terbarukan berbasis komunitas, maka penyerapan tenaga kerja bertambah sebanyak 6 ribu orang di tahun kelima, dan bertambah menjadi 42 ribu orang pada tahun ke-25. Sementara Sumatera Utara mendapat tambahan penyerapan tenaga kerja sebanyak 10 ribu orang di tahun kelima, dan 146 ribu di tahun ke-25.

 

Berkat penyerapan tenaga kerja yang masif ini, Aceh dan Sumatera Utara masing-masing mengalami pertumbuhan nilai tambah Penghasilan Domestik Bruto (PDB) provinsi sebesar 12,2% dan 15,9% per tahun.

 

Langkah ini juga akan dengan signifikan mengurangi jumlah pengangguran yang masih menumpuk di kedua daerah tersebut. Per Februari 2025 saja, dari 2,7 juta angkatan kerja, Aceh masih memiliki 149 ribu warga yang menganggur.

Luka belum kering 

 

Sejarah Aceh tak bisa dilepaskan dari soal sumber daya alam. Salah satu akar konflik bersenjata di masa lalu adalah ketidakadilan pengelolaan sumber daya, khususnya migas di Blok Arun dan kawasan lainnya. Gas diekspor ke luar negeri, pendapatan masuk ke pusat, sementara rakyat Aceh merasakan kemiskinan, polusi, dan marjinalisasi. Konflik meledak, rakyat menuntut kendali. 

 

Jika perebutan migas di empat pulau dibiarkan berulang dalam format dan aktor baru tapi logika lama, maka kita sedang bermain api di atas luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

 

Pun setelah Presiden Prabowo mengambil langkah cepat dan tegas dengan mengembalikan empat pulau yang bersengketa, eksploitasi migas yang tidak berkeadilan tidak boleh terjadi. Untuk itu, momen ini seharusnya menjadi sebagai simbol pergeseran paradigma: dari konflik ke kolaborasi, dari elite ke rakyat, dan dari energi fosil ke terbarukan.

 

-

 

Delly Ferdian merupakan analis media di Yayasan Indonesia Cerah (CERAH).

Populer

Terbaru