Ekspor Listrik ‘Hijau’ ke Singapura: Bagaimana Untung-ruginya bagi Indonesia?
Cintya Faliana • Penulis
24 Juni 2025
3
• 6 Menit membaca

Kredit foto: Monica Volpin/Pixabay
Rencana Singapura untuk membeli listrik bersumber energi terbarukan dari Indonesia telah terdengar sejak bertahun-tahun silam. Besarnya kebutuhan listrik data center (pusat data) yang terbangun di Negeri Singa tersebut menjadi alasan. Google bahkan sudah membangun pusat data keempat di Singapura.
Selain itu, pemerintah Singapura tengah menjalankan rencana pembangunan pusat data hijau yang membutuhkan listrik dari sumber energi bersih.
Sementara pemerintah Indonesia meresponsnya dengan maju mundur. Pada 2024, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia masih merasa rencana tersebut merugikan hingga enggan mendukung realisasinya. Namun, kini ia justru menyambut positif rencana ekspor tersebut.
Rencana perdagangan listrik energi terbarukan Indonesia-Singapura hingga tahun 2035 sebesar 3,4 Gigawatt (GW) memiliki nilai investasi sebesar US$30-50 miliar untuk pembangkit panel surya. Tidak hanya itu, tersedia potensi investasi US$2,7 miliar untuk manufaktur panel surya dan sistem baterai penyimpan energi (Battery Energy Storage System/BESS).
Lantas, Apakah ekspor listrik ini membawa lebih banyak keuntungan daripada kerugiannya untuk negara?
‘Hidden gem’ energi terbarukan Indonesia
Secara teori, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar. IESR menjabarkan, jika tidak ada batasan penggunaan lahan dan aturan, potensi energi surya bisa mencapai 7.714 GW. Disusul oleh tenaga air yang mampu mencapai 7.308 GWh.
Kemudian tenaga angin atau bayu sebesar 106 GW untuk ketinggian 50 meter dan 88 GW untuk ketinggian 100 meter. Sementara itu, potensi energi biomassa dari limbah bisa mencapai 30 GW dan energi air dengan kapasitas kurang dari 10 MW bisa mencapai 28 GW.
Meski dalam implementasinya tetap ada pembatasan penggunaan lahan (land use), potensi energi bersih di tanah air masih sangat besar. Dengan melihat indikator kesesuaian lokasi, terdapat 781 tempat dengan potensi energi surya berkapasitas total 336,5 GW. Mayoritas lokasi ini berada di Nusa Tenggara Timur, Papua Selatan, Maluku, dan Sulawesi Selatan.
Lebih lanjut, terdapat 314 lokasi yang berpotensi dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit energi bayu. Kapasitasnya bisa mencapai 246 GW yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
Terakhir, untuk energi air terdapat 458 lokasi yang tersebar di Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan dengan total kapasitas 1,7 GW.
Lokasi potensial energi terbarukan di Indonesia. (Sumber: IESR)
Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) terbaru memperkirakan konsumsi listrik nasional pada 2025 mencapai 539 terawatt jam (TWh). Angka ini akan terus meningkat hingga menjadi 1.813 TWh pada 2060.
Jika potensi yang ada dapat dimaksimalkan, pemerintah sebenarnya bisa mengaliri listrik bersumber energi terbarukan ke seluruh Indonesia. Bahkan, energi tersebut masih berlebih dan sangat mungkin untuk dijual ke negara lain.
Membangun ekosistem energi terbarukan
Ekspor listrik hijau ke Singapura memiliki tiga keuntungan untuk Indonesia, sesuai laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Pertama, peluang ekspor bisa mendorong pengembangan industri manufaktur dan ekosistem energi terbarukan dalam negeri. Pasalnya, pemerintah perlu memastikan pasokan listrik yang stabil dan berkelanjutan untuk diekspor. Saat ini, laju pemasangan panel surya yang ada masih sangat kecil sehingga belum bisa menopang produksi listrik bersih dengan kapasitas yang besar.
Melalui ekspor listrik, pemerintah dan swasta akan ‘dipaksa’ untuk meningkatkan kapasitas produksi listrik energi terbarukan, sehingga dapat merangsang potensi pasar pasokan dalam negeri.
Menurut IEEFA, untuk memenuhi target ekspor 2 GW, maka Indonesia membutuhkan kapasitas produksi panel surya minimal 11 GWp dan BESS sebesar 21 gigawatt jam (GWh).
Energy Market Authority (EMA) mengungkapkan, proyek perdagangan listrik lintas negara ini akan menciptakan permintaan yang besar sehingga mendorong pendirian pabrik manufaktur solar PV dan BESS di Indonesia.
Kedua, ekspor listrik akan membuka lapangan kerja baru. Praktik ini terlihat dari proyek PLTS Apung Cirata berkapasitas 192 MWp yang berhasil menggaet 1.400 tenaga kerja selama tahap konstruksi dan operasional. Menurut perhitungan IEEFA, untuk membangun PLTS berkapasitas 11 GWp, tenaga kerja yang berpeluang terserap mencapai lebih dari 80 ribu. Angka ini belum termasuk tenaga kerja tambahan di sektor manufaktur.
Terakhir, tarif listrik per kilowatt jam (kWh) di Singapura sebesar US$22,2 sen, jauh lebih mahal daripada tarif listrik dalam negeri yang hanya US$9,9 sen. Ini menunjukkan potensi margin keuntungan untuk perusahaan yang menjual listrik ke Singapura sangat besar. Ujungnya dapat meningkatkan pendapatan yang signifikan untuk Indonesia.
Jika Indonesia mengekspor 3,4 GW listrik dengan asumsi tarif US$14-20sen/kWh, maka potensi tambahan devisa tahunan bisa mencapai US$4,2 miliar hingga US$6 miliar atau setara Rp95 triliun. Dalam 25 tahun, penerimaan devisa dari ekspor listrik saja bisa mencapai Rp1.675-Rp2.375 triliun.
Pemerintah juga berpotensi memperoleh pendapatan langsung dari pajak sekitar US$210-600 juta per tahun tanpa investasi. Tidak hanya itu, pemerintah juga bisa mempertimbangkan penetapan biaya royalti per-kWh yang dikenakan kepada pihak swasta pelaku ekspor untuk meningkatkan pendapatan.
Potensi dana yang sangat besar ini nantinya bisa digunakan pemerintah untuk mendanai investasi pembangunan infrastruktur energi terbarukan di berbagai daerah di Indonesia.
Hati-hati mengabaikan aspek keadilan
Meski potensi keuntungannya besar, rencana ekspor listrik ke Singapura bisa menjadi pedang bermata dua bagi transisi energi di tanah air jika pemerintah tidak mengelolanya dengan hati-hati. Sejumlah kekhawatiran muncul terutama karena target kapasitas energi terbarukan dalam negeri yang belum terpenuhi. Sejauh ini, bauran energi terbarukan per 2024 hanya 14% dan masih jauh dari target 23% pada 2025.
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya merencanakan ekspor listrik ke Singapura bersamaan dengan pemenuhan target swasembada energi terbarukan, khususnya di Sumatra sebagai lokasi potensial pemasangan PLTS.
Studi menunjukkan bahwa hal tersebut sangat mungkin direalisasikan. Untuk mengekspor listrik ke Singapura, Sumatra membutuhkan pemasangan PLTS sekitar 10 GW—dilengkapi fasilitas penyimpanan energi alami yakni pembangkit hidro berbasis pompa (pumped hydro energi storage). Dengan PLTS sebesar ini, Sumatra bisa memproduksi listrik 13 TWh per tahun. Sekitar 4 TWh listrik bisa digunakan untuk kelistrikan Sumatra, sedangkan sisanya diekspor ke Singapura.
Kendati mencukupi, pemerintah juga perlu meredam risiko konflik lahan dan turunan dampak lingkungan dalam prosesnya, karena luasnya kebutuhan lahan untuk pemasangan PLTS dan BESS. Pembangunan1 MWp kira-kira membutuhkan sekitar 4 hektare lahan. Nah, jika PLTS berkapasitas 10 GWp untuk ekspor dipasang di daratan, maka pengembang akan membutuhkan lahan hingga 40 ribu hektare. Jumlah ini setara dengan 4,8% dari luas daratan Kepulauan Riau.
Untuk itu, penting bagi pemerintah memastikan aspek keadilan telah diperhitungkan dengan matang dan tidak terburu-buru merealisasikan rencana ini. Aspek keadilan yang diharapkan masyarakat termasuk juga pelibatan dalam pengambilan keputusan yang akan berdampak pada mereka.
Pada akhirnya, meski potensi keuntungan ekonomi yang didapatkan sangat besar, pemerintah harus tetap memastikan masyarakat mendapatkan manfaat yang serupa.