Mendorong Kesepakatan Ekonomi Indonesia-Timur Tengah untuk Mengungkit Transisi Energi
Shafa Kalila Aryanti, Muhammad Zulfikar Rakhmat • Penulis
23 Juni 2025
36
• 5 Menit membaca

Komitmen global untuk menggunakan energi terbarukan telah banyak tertuang di berbagai konferensi. Pergeseran dari energi fosil yang tinggi emisi seperti gas dan batu bara menuju energi terbarukan juga sudah mulai diterapkan di Indonesia. Sayangnya, dokumen Peta Jalan Transisi Energi dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga listrik PT PLN yang diterbitkan pemerintah baru-baru ini belum mencerminkan kesesuaian dengan rencana Prabowo tersebut.
Dalam kesempatannya di KTT G20 di Brasil lalu, Presiden Prabowo Subianto merencanakan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangunan 75 GW pembangkit listrik energi terbarukan.
Keberadaan Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia sejak 2022 sempat menjadi angin segar bagi transisi energi Indonesia. Namun, harapan tersebut pupus sejak dimulainya masa kepresidenan kedua Donald Trump: Amerika Serikat (AS) menarik diri dari Perjanjian Paris pada Januari 2025. Hengkangnya AS menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pembiayaan transisi energi hingga $2 triliun.
Di sisi lain, Cina melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) telah memberikan banyak pengaruh besar dalam pendanaan infrastruktur terutama di sektor energi Indonesia. Namun, ketergantungan pendanaan dari Cina berisiko menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan hutang (debt trap) jangka panjang. Sejumlah pihak juga menganggap megaproyek BRI juga masih melanggengkan praktik penggunaan energi kotor sehingga tidak mampu mendorong investasi terhadap energi bersih di Tanah Air.
Menimbang situasi tersebut, mungkin saatnya Indonesia menilik potensi kerja sama dengan negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East and North Africa/MENA) untuk mendorong transisi energi nasional. Lingkup kemitraan ini bisa Indonesia perluas tidak hanya sebatas pada investasi, melainkan juga pakta kerja sama ekonomi regional, atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
Sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim terbanyak—Indonesia memiliki kedekatan budaya, sejarah, serta diplomatik dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Apalagi negara-negara MENA juga menjadi pendukung transisi energi terbarukan. Kedua hal ini semestinya mampu mendorong Indonesia untuk menjalin lebih banyak hubungan yang saling menguntungkan dengan MENA.
Hubungan yang saling menguntungkan
Perkembangan transisi energi yang dilakukan secara aktif oleh negara-negara kawasan MENA banyak terjadi pada sektor energi surya dan angin. Investasi dan rencana pendanaan terhadap sektor kelistrikan di Indonesia oleh negara-negara teluk juga mulai banyak terjadi.
Uni Emirat Arab, misalnya, telah aktif bekerjasama dengan PLN dalam mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. Salah satunya adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata di Jawa Barat yang beroperasi pada 2023. Cirata menjadi PLTS terapung terbesar di Asia yang memanfaatkan teknologi photovoltaic.
Selain itu, komitmen negara MENA terhadap transisi energi juga tercermin dalam perjanjian pendanaan oleh Qatar melalui Qatar Investment Authority (QIA) dengan Danantara dalam skema joint venture investasi sebesar $4 juta pada berbagai lini - di antaranya adalah sektor kesehatan, hilirisasi industri, serta transisi energi.
Namun begitu, dalam implementasi sektor transisi energi, muncul kekhawatiran akan permasalahan gasifikasi di Indonesia. Sebab, dalam kunjungannya di Indonesian Petroleum Association (IPA) lalu, Prabowo Subianto menyinggung mengenai penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) dalam upaya transisi energi Indonesia melalui investasi Danantara. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseriusan Indonesia dalam meninggalkan pemanfaatan gas di sektor energi domestik.
Terlepas dari kekhawatiran itu, perjanjian kerjasama Indonesia–MENA CEPA akan memberikan angin segar bagi hubungan strategis dan ekonomi kedua pihak. Keberadaan CEPA juga mampu memberikan kemudahan pendanaan melalui kerjasama antar sovereign wealth fund dari kedua pihak yang bisa diarahkan pada sektor-sektor strategis seperti energi.
Tanpa perlu bergantung pada investasi Tiongkok yang sarat risiko debt trap, atau AS yang tidak pasti, Indonesia bisa mulai beralih pada negara-negara MENA. Apalagi, negara kawasan ini banyak berfokus pada penerapan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) dan telah menunjukkan reputasi sebagai investor yang berkelanjutan di beberapa tahun terakhir.
Bagi Indonesia, kerjasama CEPA ini akan memberikan dorongan yang kuat bagi kemajuan perkembangan transisi energi nasional. Selain itu, keberadaan Indonesia–MENA CEPA juga memungkinkan negara-negara teluk untuk memperluas portofolio hijau mereka dalam kancah global yang mana sesuai dengan ambisi mereka dalam memimpin laju perkembangan transisi energi global.
Baca juga: Memanfaatkan Peluang dari Perang Dagang untuk Menggenjot Transisi Energi
Inisiatif dalam mendorong kerjasama Indonesia–MENA CEPA tidak hanya akan menjadi ajang mencari keuntungan ekonomi, tetapi juga menjadi penanda akan kemandirian negara-negara South-South Cooperation dalam membangun ekosistem ekonomi yang berdikari dan berkelanjutan. Melalui CEPA, negara-negara MENA tidak hanya menjadi aktor utama dalam poros transisi energi, tetapi juga melambangkan model kemitraan yang setara, berbasis solidaritas dan kepentingan bersama.
Selain menjadi sarana untuk mempererat solidaritas negara-negara Selatan, Indonesia–MENA CEPA juga bisa menjadi antitesis dari perjanjian Indonesia–UE CEPA dan Indonesia–Australia CEPA yang banyak menimbulkan kritik. Perjanjian Indonesia-UE CEPA banyak dikritik karena adanya ketimpangan kemudahan akses yang menyebabkan negara-negara Uni Eropa mudah mengeruk mineral Indonesia lebih dari yang dimiliki oleh entitas domestik. Sementara Indonesia-Australia CEPA dianggap tidak memberikan banyak kontribusi signifikan bagi investasi yang masuk ke Indonesia dari Australia.
Di tengah tantangan iklim yang kian mendesak, krisis energi global, serta tensi geopolitik terutama antara Cina dan Amerika Serikat, Indonesia perlu pendekatan yang lebih strategis dalam menggandeng mitra pembangunan yang berkelanjutan dan sesuai dengan visi nasional.
Kemitraan dengan MENA di bidang transisi energi akan membawa Indonesia pada babak baru, tidak hanya dari segi ekonomi tetapi juga menunjukkan kemandirian dan solidaritas global Indonesia di kancah internasional.
Indonesia–MENA CEPA merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk mencapai transisi energi yang bersih, berkelanjutan, dan bersolidaritas. Di tengah guncangan geopolitik dan krisis iklim global, CEPA mampu menjadi jawaban bagi Indonesia untuk memperkuat ketahanan energi nasional serta menegaskan peran aktifnya dalam lanskap energi hijau global.
-
Shafa Kalila Aryanti dan Muhammad Zulfikar Rakhmat adalah peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS).