Apakah Ormas Penerima Konsesi Tambang masih Sejalan dengan Green Islam?
Cintya Faliana • Penulis
29 Maret 2025
14
• 6 Menit membaca

Sejak tahun lalu publik Indonesia dibuat riuh oleh pemberian konsesi pertambangan kepada organisasi masyarakat keagamaan. Mengacu Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024, ormas keagamaan berhak mendapat penawaran prioritas untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Mata publik kian mendelik karena penerima salah satu konsesi tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan besar di Indonesia. Melalui PP 25/2024, NU mendapatkan konsesi tambang batu bara di Kalimantan Timur.
Tak hanya NU, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia juga mengalamatkan pemberian konsesi serupa kepada Muhammadiyah. Organisasi ini, menurut perkataan Bahlil, juga akan kebagian mengelola wilayah pertambangan batu bara.
NU berdalih menerima tawaran pemerintah karena kebutuhan dana. Sebab, banyak pesantren yang berada di bawah naungan Pengurus Besar NU (PBNU) membutuhkan beasiswa dan dukungan infrastruktur.
Senada, Muhammadiyah pada akhirnya ikut menerima tawaran ini dengan alasan ingin meminimalkan kerusakan lingkungan akibat tambang seperti yang sudah-sudah. Menurut Muhammadiyah, pengelolaan tambang tidak mesti selalu diidentikkan dengan kerusakan lingkungan.
Pemberian konsesi pun memantik suara-suara penolakan, terutama kader-kader dua lembaga tersebut yang aktif bergerak di isu lingkungan.
Sebagai contoh, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dengan tegas menolak sikap NU yang justru menghalalkan pengerukan batu bara. Tambang ini dianggap lekat dengan kerusakan lingkungan yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam.
Argumen senada juga disampaikan oleh Kader Hijau Muhammadiyah. Langkah Muhammadiyah menerima konsesi pertambangan dianggap kontradiktif dengan komitmen organisasi tersebut dalam menerapkan nilai-nilai Islam yang selaras dengan pelestarian Bumi.
Sikap dan praktik yang berlawanan
Wajar apabila FNKSDA dan KHM menyuarakan penolakannya terhadap pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan. Pasalnya, NU dan Muhammadiyah, berdasarkan catatan dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, merupakan dua dari 142 kelompok yang turut andil dalam gerakan Islam hijau atau green Islam di Indonesia sejak dua dekade belakangan. Gerakan ini mengamalkan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam melakukan upaya-upaya menjaga keselamatan Bumi di berbagai lini, termasuk advokasi masyarakat terdampak tambang dan transisi energi di tanah air.
NU juga pernah tercatat menolak keras kehadiran tambang di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, pada 2018, lembaga fatwa organisasi ini pernah mengharamkan kehadiran tambang emas di Blok Silo di Jember, Jawa Timur, karena kerusakan akibat pertambangan jauh lebih besar ketimbang manfaatnya.
Baik NU maupun Muhammadiyah pun aktif melakukan kajian seputar pelestarian lingkungan dan menyatakan sikap tegas terhadap segala bentuk upaya yang mengarah pada degradasi lingkungan.
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU, misalnya, mengeluarkan laporan tentang Fikih Energi Terbarukan pada 2018. NU menyatakan penggunaan energi terbarukan secara ilmiah telah terbukti lebih memiliki banyak manfaat dalam jangka panjang dibanding energi fosil seperti batu bara.
Oleh karena itu, NU berpendapat, mengubah kebijakan energi yang lebih maslahat, ramah lingkungan, dan mudah diakses rakyat banyak adalah suatu kebijaksanaan yang patut dipilih.
Muhammadiyah juga pernah mendeklarasikan ideologi Green Al Maun sebagai basis gerakan lingkungan di Muhammadiyah. Ideologi ini bertujuan mendukung kebijakan yang memihak kelestarian lingkungan dan melakukan koreksi atas kebijakan yang merusak lingkungan.
Belakangan, Muhammadiyah juga meluncurkan buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang memuat lima nilai dan prinsip transisi energi untuk mengatasi persoalan lingkungan, mencegah kerusakan, sekaligus menghadapi persoalan energi yang dialami golongan yang lemah atau mustadl’afin.
Tak acuh di tengah kritik pedas
Selain FNKSDA dan Kader Hijau Muhammadiyah, banyak pihak juga mengkritik keputusan pemerintah memberikan izin pertambangan untuk ormas Islam.
Salah satu kekhawatiran itu yakni risiko korupsi yang rentan muncul dalam industri pertambangan dan dampak sosial yang menyertai. Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2016 tentang Korupsi dalam Rantai Nilai Ekstraktif menyoroti bahwa risiko korupsi dapat muncul di setiap titik dalam rantai nilai, mulai dari pembuatan keputusan untuk mengekstraksi hingga fase pengeluaran pendapatan.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi mengubah konflik tambang yang awalnya bersifat struktural menjadi konflik horizontal antar-umat. Kekhawatiran ini berdasar dari pengalaman industri pertambangan yang sering mengakibatkan perampasan lahan masyarakat, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya.
Dari aspek politik dan ekonomi, Ormas keagamaan dinilai tidak memiliki kemampuan teknis untuk mengelola pertambangan yang dikenal sebagai “industri kotor”. Keterlibatan ini justru berisiko menjerumuskan Ormas Islam ke dalam malpraktik atau salah urus saat mengelola dan mengoperasikan tambang. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka juga dikhawatirkan terpaksa harus menggandeng para pemilik modal untuk mengelola tambang, hingga hanya akan menguntungkan golongan itu-itu saja.
Pada akhirnya, risiko paling besar yang dihadapi oleh Ormas Islam adalah merusak lingkungan. WALHI mengungkapkan hampir 5 juta hektare lahan diubah menjadi kawasan pertambangan, dengan 2 juta hektare di antaranya berada di kawasan hutan.
Tren alih fungsi lahan sebagai kawasan pertambangan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan fungsi hutan akibat pertambangan berisiko memperparah bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor terutama di sekitar banjir bandang. Tahun lalu, bencana ini merenggut 15 korban tewas di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan.
Lebih jauh, pertambangan batu bara menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 pada 2021. Luas tambang batu bara juga memakan 15% kawasan budi daya perkebunan, 19% area persawahan, dan 23% di lahan budidaya padi baru. Ormas Islam berpotensi melanjutkan praktik buruk pertambangan dan justru mendorong degradasi lahan pertanian dan kehutanan.
Perlu konsisten terhadap kemaslahatan Bumi
Survei PPIM UIN Jakarta tahun lalu menemukan hampir 70% muslim Indonesia sangat setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Muslim yang terafiliasi dengan Muhammadiyah memiliki persetujuan tertinggi dengan 69% atas pernyataan tersebut.
Namun demikian, 63% Muslim juga setuju jika pesantren atau ormas memiliki usaha pertambangan untuk meningkatkan kondisi ekonomi. Muslim yang terafiliasi NU adalah kelompok paling tidak setuju dengan konsep ini, dengan hanya 30% suara yang mendukung.
Terbelahnya sikap masyarakat dan Muslim di Indonesia seharusnya bisa diredam dengan sikap ‘tegak lurus’ ormas-ormas Islam mengamalkan ajaran yang mendukung pelestarian lingkungan.
Alih-alih terlibat dalam ‘industri kotor’ seperti pertambangan, Ormas keagamaan seharusnya aktif meningkatkan kesadaran masyarakat tentang transisi energi energi terbarukan yang saat ini masih rendah. Apalagi, mayoritas muslim Indonesia masih memaknai transisi energi secara sempit, yakni sebatas pada penggunaan mobil listrik. Padahal, transisi energi mencakup aspek yang lebih luas, seperti mengurangi penggunaan energi fosil—termasuk batu bara dan pengembangan energi terbarukan.
Ketimbang terlibat dalam industri yang bertentangan dengan gerakan Green Islam, ormas Islam dapat lebih berperan dalam mendorong kebijakan yang mendukung energi bersih. Dengan jaringan pendidikan dan sosial yang luas, ormas Islam memiliki potensi besar dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya energi terbarukan dan dampak buruk eksploitasi batu bara.
NU, misalnya, telah menginisiasi program Pesantren Hijau yang sudah dijalani 17 pesantren per Februari 2024. Program ini turut mendukung aksi iklim dan menyentuh ke banyak sektor, termasuk konservasi air, konservasi energi, hingga penggunaan energi terbarukan. Alih-alih berfokus mengelola tambang, NU dapat mendayagunakan sumber dayanya yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menggenjot program ini.
Sikap konsisten dalam memperjuangkan lingkungan tidak hanya akan memperkuat posisi moral mereka, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi umat dan generasi mendatang. Konsistensi terhadap nilai-nilai Islam yang mengedepankan keseimbangan ekologi akan jauh lebih bernilai daripada keuntungan ekonomi jangka pendek dari industri pertambangan.
Editor: Robby Irfany Maqoma