Merebut Kembali Narasi Keadilan dalam Transisi Energi: Dari Perempuan untuk Perempuan
Cintya Faliana • Penulis
11 Maret 2025
5
• 5 Menit membaca

Perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling terdampak dari krisis iklim. Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan 80% korban bencana terkait krisis iklim yang mengungsi adalah perempuan dan anak-anak.
Bahkan, ketika terjadi bencana alam, perempuan dan anak-anak 14 kali lebih mungkin menjadi korban jiwa ketimbang laki-laki. Alasannya adalah keterbatasan akses informasi, sumber daya, dan kesulitan bermobilitas.
Banjir bandang di Nepal yang terjadi pada 2022, misalnya, menyebabkan 650 ribu ibu hamil kehilangan akses layanan kesehatan. Akhirnya, 77 ribu perempuan harus melahirkan di ruang terbuka tanpa peralatan medis yang memadai.
Transisi energi berkeadilan yang kini digaungkan di seluruh dunia dengan slogan “no one left behind” (tak ada satupun yang tertinggal) menyisakan pertanyaan: di mana peran dan posisi perempuan?
Bukan objek, perempuan agen aktif dalam pengambilan kebijakan
Saat ini perempuan belum memegang posisi strategis dalam pengambilan kebijakan terkait dengan transisi energi. Dari 48 menteri di kabinet Presiden Prabowo Subianto, hanya 5 orang yang perempuan atau 10% saja.
Tidak hanya eksekutif, jajaran legislatif juga serupa. Komisi XII DPR RI yang mengurus bidang energi dan investasi, hanya punya satu perempuan yang duduk di jajaran pimpinan. Dia adalah Putri Zulkifli Hasan alias anak Menteri Koordinator Bidang Pangan.
Deputi Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Amurwani Dwi Lestariningsih juga mengaku saat ini praktik dan komitmen pengarusutamaan GEDSI dalam program pemerintah daerah masih belum merata. Penyebabnya adalah pemahaman pejabat daerah terkait gender, perubahan iklim, dan integrasi gender dalam isu energi masih terbatas.
“Saya belum melihat ada satu penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang mengimplementasikan perspektif gender ini. Ini menjadi tugas berat untuk mengarusutamakan perspektif gender di pemerintah daerah,” ujarnya dalam Konferensi Nasional “Perempuan Bicara Transisi Energi Berkeadilan” digelar oleh Asosiasi LBH APIK dan Koalisi Women’s for JET di Jakarta, 26-27 Februari 2025.
Akibatnya, kebijakan terkait transisi energi kerap menempatkan perempuan hanya sebagai objek. Jika perempuan dan kelompok rentan tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan, maka kebijakan tersebut rentan melanggengkan diskriminasi yang selama ini masih dirasakan.
Contoh diskriminasi tersebut adalah ketenagakerjaan. Secara umum, pada 2020, rata-rata perempuan di dunia mendapatkan upah lebih rendah hingga 16% dari laki-laki. Di Indonesia, kesenjangan ini lebih tinggi lagi mencapai 23%. Untuk lulusan universitas, rata-rata laki-laki mendapat upah Rp5,4 juta sementara perempuan hanya Rp3,7 juta.

(Infografis: Irene Meriska Esterlita)
Hal serupa terjadi di green jobs atau pekerjaan ramah lingkungan yang membutuhkan kemampuan lebih tinggi (high skilled). International Monetary Fund (IMF) mengungkapkan hanya 6% perempuan yang bekerja di sektor green jobs, ketika laki-laki mencapai 20%. Persentase ini adalah cerminan dari pasar kerja di negara maju, sementara pekerja green jobs untuk perempuan di negara berkembang lebih kecil lagi.
Penyebabnya adalah keterlibatan perempuan di Sciences, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) masih sangat rendah. Pada 2023, hanya 28% pekerja perempuan di bidang STEM secara global. Angka di Indonesia bahkan lebih kecil lagi, termasuk yang paling rendah se-Asia Tenggara.
Minimnya keterlibatan perempuan bukan karena ketidakmampuan, melainkan stereotip bahwa STEM adalah bidang yang maskulin. Selain itu, ada bias yang tidak disadari (unconscious-bias) dalam proses perekrutan hingga promosi yang menyebabkan perempuan tidak bisa menempati posisi-posisi strategis.
Belum lagi aspek ruang hidup perempuan dan kekerasan berbasis gender yang sering terabaikan dalam kebijakan transisi energi. Perempuan kerap hanya dipandang sebagai ‘konsumen’ dalam isu energi. Padahal, perempuan memegang peranan penting. Studi menunjukkan bahwa perempuan bertanggung jawab atas 65% produksi pangan rumah tangga di Asia, 75% di Afrika Sub-Sahara, dan 45% di Amerika Latin.
Sementara pendanaan untuk transisi energi berkeadilan yang menggunakan perspektif gender juga sangat minim. Pada 2020, negara maju hanya menggelontorkan US$83 miliar dari target US$100 miliar untuk transisi energi di negara berkembang. Namun, hanya 2,9% yang menggunakan aspek gender sebagai tujuan utama dalam pendanaan tersebut.
Empat aspek keadilan dan bagaimana negara harus bertindak
Konferensi Nasional “Perempuan Bicara Transisi Energi Berkeadilan” melibatkan lebih dari 80 organisasi perempuan dan masyarakat sipil. Konferensi ini bertujuan untuk menyusun rekomendasi bagi para pemangku kepentingan terkait empat kelompok isu yaitu ketenagakerjaan, ruang hidup perempuan, kekerasan berbasis gender, dan pendanaan serta inisiatif energi.
Pembuatan rekomendasi berlandaskan pada kerangka kerja empat aspek keadilan. Pertama, keadilan rekognitif yaitu pengakuan atas pengetahuan dan pengalaman perempuan. Kedua, keadilan distributif untuk memastikan perempuan dan kelompok rentan punya akses yang adil terhadap sumber daya energi, pekerjaan, dan manfaat dari transisi energi.
Ketiga, keadilan prosedural atau proses pengambilan keputusan dalam tahap perencanaan, pembahasan, dan implementasi kebijakan yang inklusif, adil, dan transparan. Keempat, keadilan remedial yang memberikan mekanisme secara jelas bagi perempuan dan kelompok rentan untuk mencari keadilan.
Beberapa rekomendasi dari Konferensi Nasional tersebut misalnya penguatan kapasitas perempuan dan kelompok rentan agar dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja di sektor ketenagakerjaan.
Ada juga rekomendasi seputar pendanaan dan inisiatif energi kepada pemerintah, perbankan, dan swasta, yaitu untuk mempermudah akses pembiayaan di level akar rumput. Sebab, selama ini, banyak inisiatif-inisiatif energi terbarukan yang muncul dari komunitas tidak mendapat perhatian pemerintah maupun swasta.
Sektor ruang hidup perempuan juga menuntut pemerintah mengumpulkan data dan informasi terkait kelompok rentan yang lebih komprehensif. Saat ini pemerintah tidak memiliki data khusus terkait dampak krisis iklim terhadap perempuan dan kelompok rentan. Tidak ada pula data terpilah yang menyoroti berapa banyak partisipasi perempuan untuk pengembangan energi terbarukan.
Ketiadaan data membuat Indonesia sulit membuat kebijakan yang lebih sensitif pada kebutuhan kelompok rentan. Selain itu, proses pembuatan dan evaluasi kebijakan seharusnya juga melibatkan kelompok rentan.
Terakhir, untuk ruang lingkup kesehatan dan kekerasan berbasis gender (KBG) di dalam transisi energi, pemerintah harus menyediakan anggaran pemulihan untuk korban terdampak. Terlebih, kerugian yang dirasakan mereka tidak hanya materil, tapi juga immateril.
Wakil Menteri PPPA Veronica Tan juga mengusulkan kewajiban pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam musyawarah dan rencana pembangunan (Musrenbang).
“Kita harus menyusun aturan atau cara yang aman dan mengikat agar partisipasi perempuan masuk dalam pengambilan keputusan. Misal Musrenbang harus dihadiri ⅓ atau ⅔ perempuan. Harus kita yang bikin peraturan, kalau gak ada peraturan, mereka gak mau terlibat. Ini jadi upaya kita bersama untuk melibatkan perempuan di forum pengambilan keputusan,” tuturnya dalam forum tersebut.
Editor: Robby Irfany Maqoma