Mengenal Power Wheeling: Apakah Mampu Mempercepat Transisi Energi?
Cintya Faliana • Penulis
17 Mei 2025
15
• 5 Menit membaca

Sejak beberapa tahun lalu, perumusan Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) tak kunjung menemui kata sepakat. Salah satu penyebabnya adalah kontroversi pencantuman pasal power wheeling yang dianggap bisa mendongkrak pengembangan energi terbarukan di tanah air.
Belakangan, pemerintah menolak mentah-mentah ide power wheeling karena dianggap bisa menggerus peran PT PLN sebagai pengendali supply listrik untuk masyarakat. Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo menyebutkan hal ini merupakan keinginan Presiden Prabowo Subianto agar negara tetap menjadi pengendali utama melalui PLN.
Namun, benarkah keinginan Prabowo adalah pilihan terbaik ketika bauran energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari target?
Mengenal power wheeling
Skema power wheeling di belahan dunia terkait erat praktik unbundling atau pemisahan tiga sektor dalam industri ketenagalistrikan, yakni pembangkitan (produksi listrik), transmisi, dan distribusi. Melalui power wheeling, produsen listrik dapat menggunakan jaringan milik perusahaan transmisi dengan skema antar-usaha (business to business) untuk menyalurkan setrumnya ke konsumen. Di Indonesia, Power wheeling juga biasa disebut sebagai pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT).
Nah, praktik unbundling tidak berlaku di Indonesia. Sebab, industri ketenagalistrikan merupakan sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga negara dianggap perlu menguasainya. Alhasil, PLN sebagai perusahaan negara menguasai bisnis penyediaan listrik umum yang terintegrasi (bundling), dari produksi listrik hingga distribusi ke pelanggan publik. Peran swasta dalam sistem ini sebagai produsen listrik yang hanya bisa menjual listrik ke PLN.
Status monopoli PLN pada akhirnya berdampak pada konsumen yang tidak bisa memilih sumber listrik mereka—energi terbarukan atau energi fosil. Padahal, di era transisi energi seperti saat ini, banyak konsumen yang menyadari pentingnya penggunaan listrik energi terbarukan untuk menghambat laju perubahan iklim.
Di sisi lain, pemakaian energi terbarukan Indonesia masih sangat rendah sehingga belum cukup memenuhi kebutuhan mereka. Tengok saja sumbangan energi surya yang baru mencapai 0,6% dari bauran energi pembangkit listrik 2023, dan angin 0,15%.
Adapun konsumen-konsumen besar (skala bisnis dan industri) yang menyadari hal ini tergabung dalam koalisi RE100 yang berkomitmen menggunakan 100% listrik energi bersih di seluruh lini produksi dan rantai pasok mereka pada 2050. Koalisi ini terdiri dari 430 perusahaan di seluruh dunia. Sebanyak 133 di antaranya beroperasi di Indonesia.
RE100 menyoroti bahwa minimnya produksi listrik energi terbarukan Indonesia tidak sebanding dengan tingginya kebutuhan mereka. Koalisi ini bahkan sempat menyurati Presiden Joko Widodo pada September 2024 untuk meminta pemerintah mengembangkan energi terbarukan sebesar-besarnya untuk menekan gap kebutuhan dan pasokan listrik energi ini. Salah satu opsi yang ditempuh, menurut RE100, adalah melalui power wheeling.
Melalui skema ini, konsumen bisa mendapatkan setrum secara langsung dari produsen listrik energi terbarukan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang sudah ada milik PLN. Nantinya, PLN dapat mengenakan tarif sewa jaringan kepada produsen dan konsumen.
Pemerintah dan DPR sebenarnya sudah memberi lampu hijau untuk memasukkan skema power wheeling dalam RUU EBET. Namun, skema ini kemungkinan bukan untuk masyarakat umum, melainkan hanya terbatas untuk konsumen yang memiliki izin wilayah usaha kelistrikan di luar wilayah usaha PLN.
Adakah keuntungan memanfaatkan power wheeling?
Sejumlah pakar telah mengungkapkan power wheeling bisa mendukung percepatan transisi energi. Alasannya, energi terbarukan sering bersifat lokal dan jauh dari pusat permintaan listrik, terutama yang berskala besar.
Misalnya, apabila potensi energi surya berskala besar berada di Jawa Barat, sementara kebutuhan listrik justru ada di daerah lain yang masih berada di wilayah usaha PLN. Tanpa skema power wheeling, listrik dari sumber energi terbarukan akan sulit disalurkan ke konsumen. Sebaliknya, power wheeling memberi peluang bagi swasta untuk menyewa jaringan transmisi PLN, sehingga listrik tetap bisa dialirkan tanpa harus membangun infrastruktur baru.
Selain itu, ketika swasta menggunakan jaringan transmisi milik PLN melalui power wheeling, pihak swasta harus membayar pada PLN sesuai perjanjian yang disepakati. Artinya, PLN tidak dirugikan dan justru berpotensi menerima tambahan pemasukan. Berdasarkan aturan saat ini, semua perencanaan sewa jaringan beserta harga sewanya juga harus disetujui oleh pemerintah.
Potensi sumber pendapatan baru ini berpotensi mencukupi kebutuhan modal PLN, termasuk perkiraan US$5 miliar yang dibutuhkan setiap tahun untuk pembangkit listrik. Selain itu, sumber dana ini bisa menutup kekurangan investasi US$146 miliar demi memenuhi target iklim Indonesia pada 2030 mendatang.
Apakah jaringan PLN siap?
Power wheeling memang berisiko menciptakan beban tambahan penyaluran listrik di suatu sistem transmisi dan distribusi listrik. Studi simulasi Wijoyo et al pada 2018 terkait power wheeling di Jaringan Interkoneksi Barito (Kalimantan Selatan dan Tengah) mendapati sistem ini akan berdampak pada penurunan tegangan, yang artinya bisa mengurangi keandalan sistem kelistrikan.
Bukan cuma itu, dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan Just Energy Transition (CIPP JETP) Indonesia 2023 menggarisbawahi sistem kelistrikan Indonesia yang lemah. Untuk memastikan sistem listrik tidak byar-pet sembari mengembangkan energi terbarukan, Indonesia perlu memperkuat jaringan listriknya.
Walau demikian, studi lainnya menganggap risiko tersebut bisa dimitigasi. Melalui skema power wheeling yang jelas, PLN dapat memperhitungkan biaya penguatan jaringan sebagai salah satu komponen dalam biaya sewa. Tujuannya untuk memastikan penyaluran listrik yang stabil, tak hanya bagi pengguna listrik power wheeling, tapi juga masyarakat umum. Perencanaan pemerintah dalam perencanaan usaha power wheeling juga akan menentukan sejauh mana skema ini bisa direalisasikan secara luas untuk membantu pengembangan energi terbarukan Indonesia.