Lama Dinanti, Peta Jalan Transisi Energi Masih Jauh dari Harapan
Cintya • Penulis
19 Mei 2025
14
• 6 Menit membaca

Pemerintah menerbitkan Peta Jalan (road map) Transisi Energi sektor Ketenagalistrikan melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 10/2025 akhir April lalu. Harapannya, kebijakan ini menjadi panduan teknis untuk mencapai target pemerintah mengurangi emisi hingga 41% pada 2030 mendatang.
Roadmap ini telah dinantikan selama lebih dari dua tahun setelah Peta Jalan Net Zero Emission diluncurkan pada 2022. Sejumlah industri di sektor ketenagalistrikan menantikan kebijakan ini untuk memastikan kegiatan usaha mereka sesuai dengan arah gerak pemerintah.
Sayangnya, setelah lama dinanti, roadmap transisi energi masih meninggalkan banyak pertanyaan dan tidak punya tujuan yang terperinci.
Setengah hati komitmen pensiunkan PLTU batu bara
Sebagai turunan dari Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022, peta jalan ini diharapkan menjadi acuan teknis menurunkan ketergantungan energi fosil di sektor ketenagalistrikan. Namun demikian, indikator utama yang digunakan dalam pemensiunan PLTU justru masih berorientasi pada aspek ekonomi semata, misalnya pendanaan, umur teknis PLTU, dan efisiensi operasional.
Laporan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebutkan, indikator-indikator ini menampilkan pendekatan pemerintah yang hanya fokus pada kalkulasi bisnis saja. Akibatnya, untung rugi dari aspek lingkungan cenderung tidak diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Pemerintah seolah berpihak pada untung rugi pemilik proyek PLTU, bukan berorientasi pada target mengurangi emisi karbon sesuai Perjanjian Paris.
Lebih jauh, penghentian operasi PLTU juga harus mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif tenaga listrik, dan penerapan aspek transisi energi berkeadilan. CERAH mengungkapkan indikator ini membuat pensiun dini PLTU bersifat conditional atau tidak menjadi sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan.
Salah satu frasa yang membuat kebijakan ini bersifat fakultatif atau memberikan pilihan adalah Pasal 12 yang berbunyi, “Dalam hal terdapat ketersediaan dukungan pendanaan, pelaksanaan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU harus didahului dengan kajian Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU.” Frasa tersebut memberikan Kementerian ESDM kebebasan untuk menentukan pensiun dini PLTU berdasarkan pertimbangan ekonomi.
Apalagi, Pasal 12 Permen ESDM ini mewajibkan pensiun dini PLTU didasari oleh kajian PT PLN yang akan sulit berjalan tanpa political will Menteri ESDM. Sebab, kajian yang harus disusun dalam enam bulan itu merupakan penugasan dari Menteri ESDM. Alhasil, jika Menteri tidak bersungguh-sungguh menutup PLTU, cita-cita transisi energi yang adil dan berkelanjutan sulit terwujud.
Sejumlah PLTU layak segera pensiun
Beberapa tahun terakhir sejumlah kelompok masyarakat sipil telah mengeluarkan riset mengenai daftar PLTU yang berpotensi dipensiunkan tanpa membebani negara. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), misalnya, mendesak penutupan PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu yang sudah masuk dalam daftar prioritas program Just Energy Transition Partnership (JETP).
IESR menghitung sebanyak 72 PLTU batu bara dengan total kapasitas 43,4 Gigawatt (GW) harus dipensiunkan pada 2022-2045. Sementara untuk periode 2025-2030, terdapat 18 PLTU dengan kapasitas 9,2 GW yang bisa dipensiunkan. Delapan diantaranya milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU lain milik swasta (4,2 GW).
Lewat kajian yang dilakukan, biaya pensiun dini PLTU akan mencapai US$4,6 miliar (Rp75,8 triliun) hingga tahun 2030 dan US$27,5 miliar (Rp453,4 triliun) hingga 2050. Secara rinci, PLN akan menanggung ‘beban’ biaya US$9,2 miliar (Rp151,6 triliun) atau sepertiga dari total biaya, sementara sisanya ditanggung oleh swasta.
Namun demikian, meski biaya awal terasa sangat besar dan membebani, tapi manfaat jangka panjang yang bisa dirasakan lebih besar atau menguntungkan. Pemerintah berpotensi ‘untung’ sebesar US$96 miliar (Rp1.582 triliun) pada 2050—setara hampir separuh dari APBN 2025—dari penghematan anggaran subsidi PLTU dan biaya kesehatan yang selama ini sering tidak diperhitungkan.
Bergantung pada solusi palsu
Roadmap yang seharusnya merumuskan transisi menuju energi terbarukan ini malah menampilkan sikap berdiri di dua kaki dengan membuka ruang untuk kelanjutan PLTU batu bara.
Sejak awal, Perpres 112/2022 belum mendorong pemanfaatan energi terbarukan sebagai pengganti energi fosil. Analisis Cerah dan Celios telah menunjukkan Perpres yang menjadi acuan roadmap ini bahkan masih membuka keberlanjutan pemanfaatan PLTU dengan kriteria yang longgar dan tidak terukur.
Dampaknya perkembangan bauran energi terbarukan di Indonesia sangat lambat, bahkan bisa dibilang stagnan. Selama 2021-2024 saja, peningkatan bauran energi terbarukan nasional hanya naik 0,65%. Akhirnya, pemerintah menurunkan target bauran energi terbarukan dari 23% menjadi 20%. Melihat progres yang lambat, Kementerian ESDM meyakini bauran energi terbarukan 23% baru bisa dicapai 2030 mendatang.
Inilah dampak dari regulasi terkait transisi energi yang masih menganggap energi kotor dianggap jauh lebih murah dan menguntungkan dari aspek ekonomi. Perspektif ekonomi yang menjadi dasar utama ini juga tercermin lewat masuknya solusi palsu dalam Permen ESDM No. 10 Tahun 2025. Dua di antaranya adalah penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) yang menekankan pada penangkapan, penyimpanan, dan penggunaan karbon dari PLTU.
CCS/CCUS dianggap menjadi solusi palsu karena terbukti gagal dan tidak efektif mengurangi emisi di berbagai negara. Laporan IEEFA membuktikan 13 proyek CCS/CCUS berskala besar hanya berhasil mereduksi 39 juta ton CO₂ per tahun. Angka ini hanya 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi pada 2021.
Lebih buruk lagi, proyek CCS di Aljazair bahkan harus dihentikan pada 2011 karena potensi kebocoran yang dipicu pergerakan tanah. Senada, CCS Sleipner di Norwegia juga muncul ke lapisan atas lebih cepat dari yang diperkirakan.
Jika pemerintah berkukuh mengoperasikan 16,6 GW pembangkit listrik dengan teknologi CCS, maka industri bahan bakar fosil berisiko terus melanjutkan operasi mereka. Padahal, perhitungan penyerapan karbon di masa depan sudah terbukti gagal saat ini. Teknologi ini ujungnya hanya menjadi taktik untuk menunda penghentian pemanfaatan energi fosil.
Selain CCS/CCUS, pemerintah juga memasukkan co-firing biomassa (bahan bakar pendamping batu bara dalam PLTU) sebagai sebagai salah satu solusi dalam peta jalan transisi energi. Pada 2060 mendatang, total kapasitas pembangkit tenaga listrik dengan co-firing diproyeksikan mencapai 54 GW.
Mengandalkan co-firing amatlah berisiko. Selain berisiko memperparah deforestasi karena pembukaan hutan untuk penanaman bahan bakar kayu, strategi ini justru dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Kreativitas pendanaan jadi kunci transisi energi
Pensiun dini PLTU seharusnya bukanlah strategi yang conditional, melainkan wajib bagi Indonesia untuk melawan krisis iklim. Selain untuk meredam kerusakan Bumi yang tak bisa dikembalikan lagi, pensiun dini PLTU dapat mencegah kematian dini 110 ribu penduduk Indonesia setiap tahun, sekaligus meredam lonjakan kasus penyakit pernapasan karena polusi udara.
Kekhawatiran pemerintah terkait aspek pendanaan pensiun PLTU sebenarnya bisa diatasi jika melihat peluang dengan kreatif. Sejumlah riset sudah berusaha memberikan alternatif pembiayaan penutupan PLTU lewat debt swap atau menukar utang pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga berpotensi mendapat pungutan batu bara yang lebih besar yang bisa digunakan untuk melakukan pensiun dini PLTU. Selain berpeluang menambah pundi-pundi negara untuk transisi energi, skema ini juga bisa menjadi disinsentif untuk mengurangi minat investor beroperasi di sektor energi fosil.
Pada akhirnya, kesungguhan pemerintah mewujudkan transisi energi berkeadilanlah yang akan menjadi kunci.