Model Energi Terbuka: Alternatif Perencanaan Energi Terbarukan Masyarakat
Sita Mellia • Penulis
11 Juli 2025
58
• 6 Menit membaca

Meski rasio elektrifikasi Indonesia sudah mencapai 99,38% di akhir 2024, sebanyak 1,28 juta rumah tangga belum teraliri listrik pada Juli 2025. Presiden Prabowo Subianto pun menyatakan perlu waktu lima tahun lagi untuk mengerjakan sisanya.
Topografi Indonesia yang menantang—berupa kepulauan—kerap menjadi alasan mengapa PT PLN (Persero) sulit membangun jaringan listrik di wilayah-wilayah terpencil.
Padahal, jika ada kemauan politik, pemerintah bisa memetakan potensi energi terbarukan dan mengembangkannya di pulau-pulau tersebut. Melalui pembangunan pembangkit energi terbarukan berskala kecil yang tersebar, topografi kepulauan justru bisa menjadi peluang untuk masyarakat membangun listrik energi terbarukan secara lebih adil. Ini sekaligus menunjang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang telah menetapkan potensi dan teknologi pilihan per provinsi.
Jenis energinya pun bisa bermacam-macam sesuai karakter wilayah. Misalnya di Sumba, Nusa Tenggara Timur, kaya dengan energi air, surya, dan angin. Sementara pulau-pulau di Maluku Utara bisa mendapatkan listrik energi limbah biomassa dari perkebunan kelapa setempat.
Bayangkan jika Indonesia memiliki model sistem energi terbuka atau open energy modelling, yakni perencanaan energi (dalam bentuk asumsi maupun data) yang bisa diakses dan dipantau semua warga. Pemodelan sistem energi terbuka seperti ini akan sangat membantu masyarakat maupun akademisi mengevaluasi skenario energi. Harapannya, pengembangan energi bisa kembali dibumikan menjadi milik warga, tidak lagi terpusat di pemerintah maupun PLN.
Berkenalan dengan open energy modelling
Ide pemodelan energi terbuka muncul pertama kali pada 2001, ketika sejumlah peneliti di Eropa menginginkan perencanaan sistem energi yang tidak hanya dikuasai oleh pemerintah dan perusahaan. Model ini dinamai model Balmorel dari Denmark. Ini menjadi pecutan pertama kali bagi tren liberalisasi—keterbukaan data—di Uni Eropa.
Selain itu, ada pula OSeMOSYS yang mulai dikenalkan pada 2008. Lewat Sistem Pemodelan Energi Sumber Terbuka (OSeMOSYS), masyarakat bisa mengembangkan strategi energi lokal, nasional, dan multi-regional. Kedua model ini menawarkan keterbukaan—bisa digunakan publik, sekaligus murah.
Selain OSeMOSYS, tools populer yang masif digunakan ialah PyPSA (Python for Power System Analysis) yang biasanya digunakan untuk sistem kelistrikan dan jaringan interkoneksi. Ada juga serta Calliope yang biasa digunakan pengembangan energi untuk skala lokal hingga nasional.
Model energi terbuka kembali dipopulerkan sejumlah masyarakat akar rumput dan akademisi Jerman dengan nama openmod initiative. Tujuannya agar warga dapat berpartisipasi dalam merencanakan energi di wilayahnya sendiri. Inisiatif ini mengadakan pertemuan pertama kali pada 2014 untuk mendorong keterbukaan data dalam perencanaan energi.
Hingga kini, ada lebih dari 50 tools atau model energi terbuka yang telah dimanfaatkan dunia—mulai dari Afrika Selatan, India, Inggris serta Vietnam. Semua model tersebut transparan, bisa diaudit publik, dan bebas diakses semua orang. Masyarakat hanya tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan, sebab masing-masing model memiliki karakteristik dan fleksibilitas yang berbeda.
Bagaimana cara kerjanya?
Model seperti PyPSA, OSeMOSYS, Calliope dan lainnya bekerja dengan cara memasukkan “bahan-bahan” terlebih dahulu, seperti data spasial (seperti lokasi pembangkit dan jaringan listrik) serta data temporal (seperti profil cuaca dan permintaan listrik harian).
Data-data ini kemudian diproses menggunakan solver—perangkat lunak atau mesin penghitung. Tugasnya mencari kombinasi pembangkit listrik dan jaringan yang paling murah, bersih, atau efisien.
Setelah dihitung, hasil yang keluar adalah peta kapasitas pembangkit, aliran daya antar wilayah, jadwal operasi tiap teknologi, hingga estimasi biaya sistem listrik di masa depan. Oleh karena hasilnya terbuka untuk publik, siapapun dapat meninjau ulang atau membuat skenario baru dari model yang sama.
Dongkrak listrik berkeadilan dan udara sehat
Di Inggris, misalnya, lembaga pemikir (think tank) internasional untuk transisi energi seperti EMBER menggunakan tools atau model PyPSA (Python for Power System Analysis)—berbasis optimasi matematika linear—untuk membuat skenario penghentian energi kotor, yakni pembangkit gas pada 2030.
Skenario penghentian pembangkit gas di Inggris tahun 2030 menggunakan model PyPSA. Bagian abu-abu adalah gas. Sementara hijau adalah energi bersih. Sumber (EMBER, 2022).
Hasilnya, kontribusi pembangkit gas fosil Inggris yang tidak disertai penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) yang semula 40% dikurangi menjadi 0,7%, kemudian gas fosil yang disertai CCS kapasitasnya hanya sebanyak 0,5%. Sebagai gantinya, energi bersih ditambah hingga 99,3%—71% berasal dari angin dan matahari.
Berkat keterbukaan data dari pemerintah dan National Grid Electricity System Operator (otoritas sistem kelistrikan Inggris), lembaga pemikir seperti EMBER dan peneliti bisa membuat perencanaan untuk mengurangi emisi dengan signifikan.
Sementara itu, peneliti di Vietnam telah memanfaatkan keterbukaan data untuk memenuhi permintaan listrik di Vietnam Utara dari 2025 hingga 2030. Dengan tools PyPSA, mereka membuat skenario pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Hasilnya, mereka membuktikan PLTA memiliki biaya operasional lebih rendah dibanding Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) atau diesel saat jam beban puncak (peak hours)—periode ketika permintaan listrik mencapai titik tertinggi dalam sehari.
Sejumlah peneliti bersama Bank Dunia dan Badan Energi Internasional (IEA), menggunakan pemodelan energi terbuka OnSSET untuk membantu Malawi, negara bagian Afrika Selatan. Semula, pemerintahnya memperkirakan biaya elektrifikasi nasional on-grid sebesar US$5,3 miliar, studi mereka menemukan skenario penyediaan listrik dengan harga yang jauh lebih rendah yakni US$1,83 miliar. Biaya yang lebih murah ini mencakup grid, mini-grid, dan off-grid.
Melalui data spasial, peneliti menemukan sebagian besar wilayah lebih cocok menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di luar jaringan utama atau off-grid. Melalui skema off-grid, biaya penyediaan listrik dapat dihemat hampir 65%.
Masyarakat Afrika dan Asia Selatan juga memanfaatkan platform Energy Access Explorer yang dibuat oleh World Resources Institute (WRI) bersama Bank Dunia, untuk membantu warga merencanakan energi di wilayah yang belum teraliri listrik. Lebih dari 100 pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil (NGO) maupun masyarakat awam di Afrika dan Asia Selatan dapat mengolah data spasial dengan memanfaatkan berbagai tools yang disediakan Energy Access Explorer.
Tak perlu menunggu 5 tahun
Hingga saat ini, warga Indonesia belum bisa memanfaatkan model energi terbuka. Pasalnya, ESDM dan PLN tidak membuka akses data spasial. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk sepuluh tahun ke depan, misalnya, masih belum memuat detail penempatan pembangkit listrik. Perencanaannya juga masih terpusat dari PLN.
Padahal, cerita-cerita di atas menunjukkan, jika pemerintah dan PLN mau membuka data geospasial, manfaatnya akan banyak sekali. Selain mengurangi emisi, pemodelan ini bisa memeratakan akses listrik, bahkan mengurangi beban biaya operasional serta koneksi listrik nasional.
Indonesia sebenarnya memiliki lembaga seperti Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) atau BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang dapat mengadopsi pendekatan pemodelan energi terbuka sebagai standar perencanaan energi daerah.
Kini, kita hanya menunggu keberanian PLN untuk membuka data seperti data lokasi pembangkit, lokasi penghubung antar jaringan listrik, dan daya tampung aliran listrik—input yang dibutuhkan model energi terbuka.