Menolak Terbengkalai: Bekas Area Tambang untuk Pembangkit Energi Surya
Cintya Faliana • Penulis
14 Juli 2025
21
• 6 Menit membaca

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendorong pemanfaatan area bekas tambang digunakan untuk sektor produktif seperti perkebunan dan pertanian. Menurut Bahlil, ini merupakan permintaan Presiden Prabowo Subianto agar dilakukan diversifikasi setelah pertambangan selesai.
Mengingat target Prabowo untuk membangun pembangkit energi terbarukan berkapasitas 75 GigaWatt (GW), area bekas tambang sebenarnya berpeluang dimanfaatkan untuk lahan pembangkit tersebut. Sebab, pengembangan energi terbarukan masih sedikit: 15% dari total kapasitas listrik nasional. Sementara sejak era Presiden Joko Widodo, pemerintah telah banyak mengalokasikan lahan untuk pertanian—lebih dari 190 ribu hektare untuk program Food Estate ataupun potensi jutaan hektare lahan yang telah direncanakan.
Tentunya, pemanfaatan area bekas tambang untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) perlu disesuaikan dengan kebutuhan suatu daerah untuk mengembalikan area tambang yang terlanjur berada kawasan penting, seperti area lindung dan area konservasi, sesuai kondisi semula.
Bagaimana potensi dan risiko yang mengikuti jika area bekas tambang dimanfaatkan sebagai area pembangkit energi terbarukan?
Potensi terbesar kedua di dunia
Indonesia menempati posisi kedua di dunia dengan lahan pertambangan terluas yang berpeluang dialihkan menjadi area PLTS. Laporan Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan, tambang batu bara di Indonesia menawarkan potensi ruang untuk hampir pembangkit berkapasitas 60 GW energi surya.
Proyeksi didapatkan dari lahan tambang seluas 1.190 km², termasuk 26 tambang batu bara yang diperkirakan akan ditutup pada 2030. Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur menjadi dua daerah dengan lahan tambang berkapasitas besar yang akan berakhir kegiatannya dalam lima tahun ke depan.
Adapun potensi energi surya di area bekas tambang 100 kali lebih besar dari kapasitas terpasang PLTS per Juni 2024 yang hanya sebesar 573 Megawatt (MW) menurut Kementerian ESDM. Meskipun, terdapat perbedaan data dari GEM yang hanya mencatat kapasitas PLTS Indonesia pada 2023 hanya 21 MW. Terlepas dari perbedaan tersebut, dengan kapasitas saat ini, Indonesia masuk dalam lima besar negara dengan PLTS terpasang paling sedikit di Asia.
Secara akumulatif, luas tambang batu bara di dunia mencapai 5.820 km² dari total 446 area yang ada. Luas ini mencakup lahan bekas tambang sejak 2020 dan lahan tambang yang berpotensi ditinggalkan pada 2030 menyusul habisnya cadangan.
Mengubah bekas tambang menjadi PLTS dianggap ‘lebih praktis’ dibanding membangun di lokasi baru, karena banyak tambang berada dekat dengan jaringan listrik.
Menurut analisis GEM, 96% tambang batu bara di dunia yang baru tutup berada kurang dari 10 km dari jaringan dan 91% di antaranya dekat dengan gardu induk. Untuk tambang yang diperkirakan tutup sebelum 2030, 87% dekat dengan jaringan dan 76% dekat gardu. Di Indonesia, salah satu contoh PLTU Mulut Tambang (mine-to-mouth) adalah PLTU Tanjung Lalang di Sumatera Selatan. PLTU ini berada di area tambang batu bara milik PT Bukit Asam.
Kedekatan ini membuat lokasi bekas tambang cocok bukan hanya untuk PLTS, tapi juga untuk penyimpanan baterai skala besar. Ini menjadikan proyek coal-to-solar lebih cepat, murah, dan efisien.
Konversi area bekas tambang menjadi lahan PLTS menghadirkan keuntungan dan kemudahan untuk berbagai sektor. Misalnya, sektor ketenagakerjaan. Secara global, setidaknya terdapat 259.700 lapangan kerja permanen dapat tercipta di sektor manufaktur, perdagangan, dan jasa profesional. Belum lagi tambahan 317.500 lapangan kerja sementara di sektor konstruksi.
Secara keseluruhan, jumlah ini lebih besar daripada total pekerja yang diperkirakan akan hilang dari industri batu bara secara global pada 2035.
Melihat Cina bekerja
Cina menjadi negara dengan potensi terbesar untuk mengubah bekas tambang batu bara menjadi lokasi PLTS. Setidaknya terdapat 90 proyek konversi tambang batu bara menjadi lokasi PLTS telah beroperasi. Total kapasitas yang dihasilkan mencapai 14 GW.
Tak berhenti di situ, pemerintah Cina tengah menyiapkan 46 proyek tambahan konversi area bekas tambang dengan potensi tambahan 9 GW. Langkah ini menjadikan Cina sebagai negara dengan portofolio proyek coal-to-solar terbesar di dunia. Portofolio Cina pun menjadi bukti bahwa lahan terdegradasi dapat menjadi tulang punggung energi terbarukan negara tersebut.
Bauran energi terbarukan di Cina pun menyumbang 30% dari total konsumsi energinya pada 2022. Sedangkan, investasi energi terbarukan di Cina semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2024, Cina telah mencapai target pembangunan kapasitas angin dan surya 2030, atau enam tahun lebih cepat dari jadwal. Investasi energi terbarukan Cina mencapai lebih dari US$625 miliar, hampir dua kali lipat sejak 2015.
Bahaya menelantarkan lubang tambang
Pada 2020, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat terdapat setidaknya 3.092 lubang tambang mineral dan batu bara yang tersebar di seluruh Indonesia tidak direklamasi. Angka ini bahkan membesar luar biasa hingga lebih dari 80 ribu titik, berdasarkan analisis Yayasan Auriga pada 2022.
(Infografis: Irene Esterlita)
Per 2024, lubang tambang yang dibiarkan telah merenggut 45 korban jiwa, mayoritas anak-anak. Banyaknya korban jiwa akibat kecelakaan di lubang tambang disebabkan oleh aktivitas pertambangan yang dekat dengan wilayah pemukiman warga.
Padahal, dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan 4/2014, aktivitas pertambangan harus berjarak minimal 500 meter dari pemukiman warga. Permen LHK juga mengatur bahwa reklamasi bekas galian tambang adalah upaya menata dan memulihkan kualitas lingkungan agar kembali berfungsi sesuai peruntukannya.
Sayangnya, baik aturan jarak pertambangan dan kewajiban reklamasi masih banyak dilanggar perusahaan hingga mengakibatkan sisa lubang galian tambang terbengkalai sampai memakan korban jiwa.
Komitmen dan kehati-hatian
Pemanfaatan lahan bekas tambang untuk pengembangan PLTS bisa menjadi pemantik untuk meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia. Sayangnya, upaya ini masih kurang dilirik oleh pemerintah maupun perusahaan. Sejauh ini hanya ada rencana pembangunan PLTS 600 MW di lahan bekas tambang.
Sebagai contoh, PT Bukit Asam Tbk telah mengumumkan rencana pembangunan PLTS di tiga lokasi bekas tambang di Sumatera Barat berkapasitas 200 MW, Sumatera Selatan 200 MW, dan Kalimantan Timur 30 MW. Meskipun telah diumumkan sejak 2021 dan dikonfirmasi kembali pada 2023, tidak ada kemajuan signifikan dalam proyek ini.
Kendati begitu, tidak semua area bekas tambang bisa dialihfungsikan menjadi lahan PLTS. Sebab, beberapa lahan tersebut berada di kawasan hutan sehingga fungsinya harus dikembalikan menjadi hutan (reforestasi). Lahan bekas tambang yang bisa digunakan tidak boleh berada di kawasan hutan lindung, gambut, atau habitat satwa dilindungi.
Pemerintah juga perlu memperhatikan risiko bencana yang timbul saat membangun PLTS di kawasan pertambangan. Berdasarkan data JATAM, terdapat 104 konsesi pertambangan mineral dan batu bara di seluruh Indonesia yang berada di kawasan beresiko tinggi gempa. Dengan luas 1,6 juta hektare, area ini patut mendapat perhatian khusus dari pemerintah mengenai potensi dan risikonya.
Untuk menggenjot pembangunan PLTS, pemerintah perlu mempertegas upaya pemanfaatan lahan bekas tambang dalam peraturan yang ada. Selama ini, negara belum memberikan definisi yang jelas seputar reklamasi. UU Minerba Tahun 2020, Pasal 99 hanya menyebutkan bahwa pemegang izin tambang harus “mengelola daerah bekas tambang”, namun tidak ada ketentuan mengisi lubang bekas tambang.
Belum lagi pergeseran tanggung jawab dari tingkat provinsi ke pemerintah pusat menimbulkan risiko untuk reklamasi. Pengawasan dari Jakarta kemungkinan harus bergantung pada teknologi satelit yang, sayangnya, tidak menangkap lubang-lubang kecil yang tergenang. Perlu ada pembagian kewenangan yang jelas untuk pemanfaatan area bekas tambang dari izin-izin yang telah diterbitkan pemerintah pusat.
Untuk itu, penting bagi pemerintah pusat, daerah, dan penyedia listrik seperti PLN bekerja sama dalam memastikan potensi konversi lubang bekas tambang menjadi pembangkit energi terbarukan. Dengan kehati-hatian serta regulasi yang jelas, pemerintah bisa memastikan konversi tersebut dilakukan dengan adil–tidak hanya untuk manusia, tapi juga untuk alam.