Kualitas Udara Jakarta Memburuk, Benarkah Kendaraan Listrik jadi Solusi?

Michelle Clysia Penulis

26 Januari 2024

total-read

13

4 Menit membaca

Kualitas Udara Jakarta Memburuk, Benarkah Kendaraan Listrik jadi Solusi?

Pemandangan langit biru dengan kumpulan awan yang tersenyum manis seakan menjadi kenangan di Jakarta. Karena saat ini polusi udara menerpa kencang Ibu Kota Indonesia yang sudah berusia 496 tahun itu.

Kondisi itu berdampak terhadap kualitas udara yang memburuk dan tidak sehat bagi manusia.

Anak kesayangan Ajeng Dwi Irmawati (29) rentan terkena penyakit akibat buruknya kualitas udara di Jakarta. Seperti cepat menderita demam dan batuk pilek.

Ia pun ikut resah karena mengalami sesak napas akibat polusi udara.

“Perjalan ke kantor cukup jauh jadi debunya juga banyak karena bikin mata perih padahal pakai kacamata dan malah saya ngerasa sesak (napas) karena polusi yang terlalu tebal,” kata warga yang tinggal di Pondok Kopi, Jakarta Timur itu dilansir Kompas.com, Senin 14 Agustus 2023.

Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Dinas Lingkungan Hidup Jakarta mencatatkan adanya peningkatan emisi (PM10) sebesar 155 persen selama dua tahun terakhir. Yakni dari tahun 2020 sebesar 29,41 partikulat (mg/Nm3) menjadi 75 mg/Nm3 pada 2022.

PM10 merupakan partikel di udara berdiameter 10 mikrometer atau kurang, yang di dalamnya termasuk asap, debu, jelaga, garam, asam, dan logam.

Peningkatan tersebut terjadi setelah pelonggaran masa pembatasan kegiatan masyarakat saat pandemik COVID-19.

Peneliti Alpha Research dan Datacenter, Ferdy Hasiman membenarkan kondisi tersebut. Menurutnya, sebanyak 57 persen sumber polusi berasal dari kendaraan berbahan bakar bensin dan solar (fossil fuel).

“Tapi untuk porsinya sebenarnya belum bisa ditentukan apakah dari kendaraan di jalan raya dan dari emisi off-road (kendaraan logistik),” katanya dilansir Suara.com, Senin 14 Agustus 2023.

Memang bukan rahasia jika Jakarta menjadi kota yang paling berpolusi di Indonesia.

Laporan Kualitas Udara Dunia IQAir pada Agustus 2022 melansir, indeks kualitas udara menunjukkan kandungan PM2,5 di Jakarta mencapai 21 miligram (mg) per kubik. Angka itu 4,2 kali lebih tinggi dari standar tahunan yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO).

PM2,5 adalah polutan udara yang berukuran 2,5 mikron (mikrometer).

Yang patut digarisbawahi adalah tidak semua kontributor polusi udara di Jakarta berasal dari peningkatan aktivitas masyarakat.

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada tahun 2020 melaporkan, ada tiga provinsi di sekitar DKI Jakarta yang ikut menyumbang polusi udara di Jakarta. Yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten yang menghasilkan emisi tinggi seperti Nitrogen oksida (NOx) dan Sulfur Dioksida (SO2). Keduanya merupakan komponen dari PM2,5.

Emisi-emisi tersebut mengarah ke Jakarta akibat arah angin pada waktu-waktu tertentu.

Pakar Lingkungan Universitas Indonesia (UI), Mahawan Karuniasa menyatakan, masuk akal jika polusi bisa terbawa angin. Meski demikian, hubungan antara polusi dan angin korelasinya tidak signifikan untuk jarak sumber dan konsentrasinya. 

“Penelitian ini tidak sepenuhnya bisa menjadi lintas batas sejauh mana, jadi susah juga kalau mengatakan polusi yang ada di Bekasi ke Barat dan Banten ke Timur,” jelasnya dikutip Majalah National Geographic Indonesia.

“Tetapi kalau berbicara konteks internal DKI Jakarta yang berimplikasi pada konsentrasi yang tinggi, memang bisa jadi arah angin mengarah ke tempat tertentu sehingga tempat itu lebih tinggi dari tempat lainnya dan mungkin bisa juga polusi Jakarta terbang mencemari udara kota-kota di sekitarnya,” tambahnya. 

Baik Ferdy maupun Mahawan menjelaskan, solusi yang bisa mengatasi permasalahan polusi yang didominasi sektor transportasi adalah dengan menggunakan kendaraan listrik yang memiliki emisi rendah.

Perbandingannya adalah emisi satu liter bahan bakar minyak (BBM) mencapai  2,4 kilogram karbon dioksida ekuivalen (kg CO2e). Sedangkan untuk kendaraan listrik hanya beremisi 1,2 Kilowatt per Jam (kWH) atau sekitar 1,3 kg Co2e.

Dari angka tersebut, transisi ke kendaraan listrik harus makin ditekankan agar polusi bisa berkurang dan menekan 50 persen emisi karbon seperti di negara-negara maju yang sudah mulai bertransisi energi. Seperti di Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, dan China.

“Negara-negara itu sudah mulai beralih dari energi tinggi karbon menuju energi bersih. Bahkan sektor otomotif sudah mulai meninggalkan kendaraan berbasis fosil menuju kendaraan listrik yang ramah lingkungan,” tambah Ferdy. 

Ia menambahkan, jika transisi tidak dilakukan pada tahun 2060, emisi karbon akan mencapai 860 juta ton Co2e per tahun.

Karena itulah, baik Fredy maupun Mahawan berpendapat jika transisi energi harus ditekankan karena saat ini kualitas udara sudah mulai mengganggu aktivitas sehari-hari hingga membahayakan kesehatan manusia.

#emisi-karbon#kendaraan-listrik#polusi-udara#transisi-energi

Populer

Terbaru