4 Kisah Sukses Transisi Energi Menghidupkan Aktivitas Desa

Cintya Faliana Penulis

26 Mei 2025

total-read

21

5 Menit membaca

4 Kisah Sukses Transisi Energi Menghidupkan Aktivitas Desa

Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan tersebar hingga ke daerah terpencil. Sumbernya pun bermacam-macam, mulai dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) hingga tenaga surya (PLTS). 

 

Berbagai cerita dari banyak daerah menunjukkan bahwa pemanfaatan energi ini—dengan skala yang berbeda-beda—berdampak positif terhadap kesejahteraan warga. Peningkatan partisipasi masyarakat, mulai dari perencanaan, pengelolaan, dan perawatan juga berkontribusi dalam memastikan pasokan energi terbarukan yang berkelanjutan.

 

Selama ini, masih banyak tantangan untuk mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas. Mulai dari pendanaan yang terbatas, teknologi, hingga terganjal regulasi. Padahal, riset 350.org dan CELIOS menampilkan potensi energi terbarukan berbasis komunitas bisa menghasilkan dampak ekonomi hingga Rp18.636 triliun dan mengangkat 16 juta penduduk dari kemiskinan dalam 25 tahun ke depan.

 

Berikut cerita keberhasilan masyarakat yang terlibat dalam pengembangan energi terbarukan:

 

PLTMh Kedungrong, Yogyakarta

Pembangkit listrik yang memanfaatkan aliran sungai Kali Bawang ini berada di Kulon Progo, Yogyakarta. Pertama kali beroperasi pada 2009, PLTMh Kedungrong hanya mampu mengalirkan listrik 400VA untuk 10 lampu jalan. Saat ini, PLTMh Kedungrong memiliki 2 generator dengan kapasitas 18 kilowatt (kW) yang dipakai secara bergantian untuk 50 rumah. Pembangkit ini bisa memenuhi kebutuhan listrik warga seperti TV, kulkas, hingga mesin cuci.

 

Masyarakat Kedungrong juga bergotong royong memelihara PLTMh. Misalnya, untuk pemilihan pengurus pembangkit listrik, warga akan bermusyawarah dan memutuskan pengurus untuk periode tertentu. Pada awal pembangunan PLTMh, beberapa warga juga dibekali pengetahuan untuk memelihara secara mandiri sehingga tidak bergantung pada teknisi dari luar. 

 

Bahkan, masyarakat sekitar membentuk Laboratorium Terpadu Mikrohidro sebagai tempat penelitian terkait mikrohidro dan energi terbarukan untuk masyarakat umum. 

 

Warga yang memiliki usaha mikro juga memanfaatkan listrik dari PLTMh. Misalnya, warga yang memiliki usaha lis kayu hanya membayar Rp12 ribu untuk biaya listrik PLTMh selama 35 hari.

 

PLTS Muara Enggelam, Kalimantan Timur

Warga Desa Muara Enggelam menikmati listrik dari 150 panel surya dengan total kapasitas 35 kilowatt peak (kWp) sejak 2015. Pada 2020, pengelolaan PLTS yang dilakukan oleh BUMDes sudah memiliki kapasitas untuk memperbaiki panel surya yang rusak dan meningkatkan kapasitasnya menjadi 45 kWp.

PLTS Muara Enggelam menampilkan keberhasilan komunitas dalam meningkatkan pengelolaan jaringan listrik skala kecil (mini-grid). Operasional PLTS mengaliri listrik untuk 160 rumah dengan manfaat akses listrik 24 jam. Tiap rumah cukup membayar biaya Rp100 ribu saja per bulan, yang kemudian digunakan untuk perawatan PLTS. Listrik juga dimanfaatkan untuk fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas.

Akses listrik ini juga memungkinkan BUMDes mengembangkan usaha sarang burung walet. Pendapatan dari usaha ini juga digunakan untuk menutupi biaya operasional dan perawatan, tanpa perlu dana tambahan dari anggaran desa.

Warga juga menetapkan aturan yang jelas terkait pembayaran listrik, termasuk subsidi untuk rumah tangga berpenghasilan rendah, serta sanksi untuk pencurian listrik atau pelanggan yang tidak membayar. Pemerintah desa secara berkala menyampaikan laporan keuangan BUMDes, termasuk jumlah tagihan listrik yang berhasil dikumpulkan dalam pertemuan komunitas bulanan.

PLTMh di Flores, Nusa Tenggara Timur

Empat desa di Flores, NTT memanfaatkan aliran sungai yang deras untuk menghasilkan listrik. Pendeta Marselus Hasan adalah orang pertama yang mendorong inisiatif tersebut sejak Juli 2012 di Desa Reno, Kecamatan Poco Ranaka. 

Mulanya, warga diminta patungan Rp2 juta per keluarga untuk pembelian jaringan instalasi, kayu, dan lainnya untuk bahan membuat bendungan, saluran air, dan jalur pipa. Sementara gereja menanggung pengadaan pembangkit, tenaga ahli dan teknisi pelaksana. 

Gotong-royong warga membuat pembangunan pembangkit selesai dalam waktu empat bulan saja. Kini, PLTMh yang diberi nama Wae Rina bisa mengaliri listrik untuk 134 rumah, satu puskesmas, dan satu gereja. 

Melihat keberhasilan PLTMh Wae Rina, Romo Marselus kemudian membangun instalasi serupa di tiga desa lain. Total ada empat pembangkit yang berhasil menerangi kehidupan warga desa dengan kapasitas keseluruhan mencapai 260 KW.

Selain menerangi rumah hampir seribu keluarga, empat PLTMh juga membantu aktivitas masyarakat di empat desa. Misalnya pelayanan publik di desa hingga kecamatan, hingga aktivitas keagamaan di gereja dan musala. Listrik dari energi bersih ini juga meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di puskesmas.

Sebelum menggunakan PLTMh, setiap kepala keluarga rata-rata menghabiskan Rp900 ribu untuk membeli bensin sebagai bahan bakar genset. Kini warga bisa menghemat ratusan ribu, sebab biaya yang ditarik tiap bulan hanya berkisar Rp30-40 ribu per rumah untuk perawatan PLTMh.

PLTMh Mao Kelim, Papua Barat

Memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah, masyarakat suku Mao Kelim di Sorong, Papua Barat memutuskan untuk membangun PLTMh. Kampung Malaumkarta dan Suatolo bergandeng tangan memanfaatkan dana desa membangun PLTMh senilai Rp1,2 miliar. Butuh waktu dua tahun sepanjang 2016-2017 agar dana ini terkumpul, kegigihan warga berbuah manis ketika akhirnya listrik mengaliri desa mereka.

Pembangkit yang beroperasi sejak 2018 tersebut berkapasitas 50 KwH dengan sumber air dari Sungai Kalawangan yang dibendung. Sebelum kehadiran PLTMh, warga hanya bisa menggunakan minyak tanah atau getah damar yang berkali-kali lipat lebih mahal. 

Sekarang tiap rumah hanya perlu membayar Rp10-50 ribu per bulan yang akan digunakan untuk perawatan turbin. Pembayaran ini bergantung pada kemampuan tiap keluarga hingga terkumpul Rp3-4 juta. Sedangkan, jika terjadi masalah teknis, tiap rumah harus ikut urun Rp100 ribu. Setidaknya ada 100 rumah dari kedua kampung yang menikmati listrik di rumah mereka.

Meskipun, jika musim kemarau dan aliran debit sungai sedang rendah, listrik hanya bisa menyala di malam hari saja. Berkat listrik yang masuk ke kampung mereka, masyarakat Mao Kelim mampu menggiatkan usaha mikro—seperti produksi noken—dan anak-anak bisa belajar di malam hari.

#Transisi energi berkeadilan#komunitas#desa#PLTS#PLTMH

Populer

Terbaru